Jumat, 22 Agustus 2008

Mengunyah Rupiah dari Keripik Pisang (dari Mitra Binaan Telkom Lampung)

Kalau Anda ke Lampung, jangan lupa beli keripik pisang. Pesan singkat dari mulut ke mulut itulah yang membuat Andy Suhendi terus berkutat dengan usahanya, walaupun sebelumnya pernah jatuh-bangun. Ia pun makin percaya diri terus mengembangkan usaha membuat keripik pisang sejak 1987.

KERIPIK pisang termasuk salah satu oleh-oleh khas Lampung. Itu sebab hampir setiap tamu yang melancong ke Bumi Ruwa Jurai, pulangnya tidak lupa membawa keripik pisang dan keripik nangka.

Selaku perajin keripik, Andy mengelola usaha dengan menggunakan merek jual Aroma Sejati.

Menurut Andy, awal ketertarikan membuka usaha ini karena melihat potensi bahan baku pembuatan keripik pisang banyak tersedia di Lampung. Apalagi saat itu, pada tahun 1987, di Lampung baru ada tiga merek keripik pisang masing-masing Suseno, Gunung Mas, dan Bunga Teratai.

Dengan bermodalkan Rp1--Rp2 juta, Andy memulai usahanya. "Karena keterbatasan modal, semua dilakukan sendiri. Artinya tidak mengambil pegawai dari luar," katanya. Dengan keterbatasan itu pula pemasarannya terbatas, menitipkan ke toko-toko.

Guna membedakan dengan produk keripik pisang buatan orang lain, Andy memberikan ciri khas buatannya dengan merek Aroma yang distempel dan diletakkan dalam kemasan.

Pada saat pertama masuk pasaran, harga keripik pisang buatan Andi ditawarkan Rp2.400 per kilogram.

Seiring berjalannya waktu, Andy berniat mengembangkan usahanya. Namun, apa daya angan-angannya kandas. Modalnya kurang, usahanya pun sempat bangkrut.

Walaupun harus jatuh-bangun, Andy tak berputus asa. Dia begitu kuat melanjutkan usahanya kembali dengan berspekulasi meminjam uang kepada rekan dekatnya.

Namun, dewi fortuna belum berpihak kepada Andy. Usahanyalagi-lagi down.

Pangkal utama penyebabnya, menurut dia, karena masih lemahnya manajemen.

Yang pasti, ketika itu Andy terlilit utang karena tak mampu membayar semua pinjamannya. Karena dikejar-kejar tanggung jawab, satu-satunya solusi Andy adalah melego rumah yang ditempati.

"Bagi saya waktu itu tidak ada cara lain kecuali menjual rumah," katanya.

Sebagai konsukensi logisnya, Andy pun terpaksa mengontrak rumah. "Meskipun sedang pailit, usaha saya tetap berjalan meskipun hanya memproduksi keripik dalam jumlah yang kecil," katanya.

Beruntung ia karena beberapa tahun kemudian (1993) muncul kebijakan pemerintah mengucurkan kredit kepada usaha kecil menengah (UKM) melalui BUMN. "Karena saya masih ada kemauan keras melanjutkan usaha ini, dengan mengandalkan sertifikat tanah saya mengajukan pinjaman kredit Rp35 juta," kata Andy.

Singkatnya pinjaman tersebut disetujui. Dengan mengumpulkan kekuatan baru Andy mulai mengembangkan sayap usaha. Mula-mula memperluas pasar dengan merambah seluruh supermarket di Lampung, ke luar provinsi seperti Jakarta dan Palembang, dan memasuki toko-toko hingga ke daerah. Setelah merasa kuat, dia pun mulai berani mempekerjakan karyawan. Hingga kini Andy mempekerjakan 20 karyawan di perusahaannya.

Dan, boleh jadi, satu dari sekian alasan memanfaatkan puluhan tenaga kerja mengingat dalam waktu rekatif singkat ia mampu mencicil utang-utangnya hingga lunas.

Setelah satu persoalan penting dapat diatasi, pada 1996 Andy mulai berpikir memantapkan usahanya. Dia lalu mendaftarkan hak paten ke Tangerang dengan nama Aroma Sejati.

Baginya, pembuatan hak paten ini sangat penting, selain keuntungannya bisa lebih dikenal luas oleh konsumen.

Keuntungan lain setelah melebarkan pemasaran, penjualan keripik pisang di supermarket memberikan kontribusi terbesar dari total penjualan secara keseluruhan.

Bagaimana tidak, hingga kini omzet yang diperoleh Andy dari penjualan keripik pisang di supermarket Rp75 juta per bulan, sementara dari penjualan toko dan rumah makan Rp15 juta per bulan.

Untuk barang yang ke luar kota omzetnya bisa mencapai Rp40 juta per bulan.

Kalau dikalkulasi, keuntungan bersih yang diperoleh dari penjualan keripik pisang ini Rp15 juta per bulan. Sisa omzet lainnya untuk pengadaan bahan baku, operasional, dan membayar karyawan. Benarkah demikian? "Ya... begitulah," ujar Andy.

Terbukti dari hasil penjualan keripik pisang ini Andy tidak saja hanya bisa membangun rumah, tetapi membangun kantor yang lumayan luas di kawasan Langkapura, Bandar Lampung. Selain itu, bisa menghidupi anak istri serta menyekolahkan ketiga anaknya.

Ke depan, Andy berencana menembus pasar keripik pisang hingga Batam, Pekanbaru, Bali, bahkan sampai Bangladesh.

Mampukah ia? Setidaknya bagi Andy tak ada sesuatu yang tak bisa jika ingin mencoba. Karena setidaknya, Andy paham bagaimana bisa menarik minat konsumen.

Yang perlu diperhatikan dalam pemasaran produk penganan seperti keripik adalah kepraktisan kemasan. "Konsumen justru lebih gandrung dengan kemasan yang mungil ketimbang yang besar karena mudah dibawa dan lebih praktis," katanya.

Untuk memuaskan konsumen, kemasan keripik pisang Andy ini pun dibuat bervariasi. Ada yang dalam bentuk kotak dan plastik dengan ukuran bervariasi. Begitu pun soal harga. Dimulai dari Rp16.000 hingga Rp24.000-an.

Keripik Nangka

Berbekal kejelian melihat peluang pasar, Andy mulai menambah variasi produk. Ia juga membuat keripik berbahan baku nangka. "Pangsa pasarnya cukup menjanjikan dan tidak kalah dengan keripik pisang," ujar dia.

Kini, bahan baku keripik pisang dan nangka diperoleh pedagang pengumpul di sentra pisang dan nangka, seperti di Kedondong (Lamsel).

Kini keripik pisang Aroma Sejati sudah dikenal luas, tidak saja oleh masyarakat Lampung, tetapi pelanggan dari luar Lampung. Rasanya yang khas dan gurih menjadi pilihan utama penggemar keripik pisang.

Walaupun bisnis Andy kini tampak bersinar, menurut dia usahanya itu bukan tidak ada masa-masa sepi.

Ambil saja contoh jika musim buah tengah ramai seperti kini, penjualan keripik pisang justru menurun. Ini lantaran orang cenderung memilih makan buah segar.

Keripik Talas

Jika pergi ke Kota Bogor (Jabar), keripik talas bisa menjadi pilihan utama buat oleh-oleh. Keripik talas balitung, misalnya, yang makin digemari. Sudah beberapa bulan terakhir, produksi ini terus berkembang di Kota Hujan. Adalah dua alumnus Institut Pertanian Bogor yang pertama kali memulai bisnis penganan renyah itu.

Mumu dan Ali, begitu mereka disapa. Kedua orang ini mengolah talas balitung menggunakan alat hasil rancangan mereka. Mulai dari mesin potong, penggorengan, mesin peniris, sampai mesin pencampur bumbu. Bahkan, lokasi pembuatan pun meminjam sebuah ruangan buat kuliah mandiri milik IPB. Sambil berjalan, mereka terus meneliti kadar talas untuk menghasilkan keripik berkualitas terbaik. "Rasanya hampir menyerupai keripik kentang," kata Mumu.

Mumu menyebutkan modal awal mereka Rp35 juta. Sekarang omzet yang telah diperoleh mencapai Rp7 juta per bulan. Lalu usaha kecil tersebut makin berkembang. Industri keripik talas mereka mulai masuk pasar Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Lampung dengan total produksi 500 kilogram per bulan. Ali Rahman, pemilik pabrik, mempekerjakan sepuluh karyawan. Kini, mereka sedang bersiap-siap mencari lokasi pabrik baru.

Keripik Tempe

Yang tak kalah menarik adalah usaha pembuatan keripik tempe.

Kendati krisis ekonomi menerpa Tanah Air beberapa tahun silam, usaha kecil seperti pembuatan keripik tempe masih tetap hidup.

Perkampungan Primkopti di kawasan Bambu Apus, Jakarta Timur, yang menjadi kawasan perajin tempe dan hasil olahannya ini menjadi bukti nyata ketegaran tersebut. Mereka menjadi perajin sejak puluhan tahun silam. Kini, di kawasan itu masih ada 200 perajin. Seorang di antara mereka adalah Subaryo.

Subaryo menggeluti usaha tempe sejak 20 tahun silam. Seiring perkembangan zaman serta kian jenuhnya pasar konsumsi tempe memaksa Subaryo menciptakan nilai tambah bagi tempe produksinya. Dia membuat tempe menjadi keripik sejak dua tahun silam. Kini, 25 kilogram kedelai setiap hari, diolah untuk diproses menjadi keripik tempe. Peralatan yang digunakan pun terbilang sederhana dan apa adanya. Misalnya, menggunakan ember karet untuk mengolah kedelai, menggunakan kawat lancip untuk melubangi plastik tempe, hingga api lilin yang dipakai merapikan kemasan plastik keripik.

Inovasi baru ini ternyata mampu memperbaiki taraf ekonomi keluarga Subaryo. Keuntungan bersih Rp25 per keping keripik produksinya membuat Subaryo dapat membesarkan enam anaknya. Keripik kemudian dijual Rp1.500 per plastik atau Rp15.000 setiap toplesnya. Subaryo mengaku prospek pemasaran keripik masih terbuka luas. Sebab, produsen sejenis masih belum banyak. Buktinya, di kawasan Primkopti, hanya Subaryo yang membuat keripik tempe, sehingga relatif tak ada pesaing.

Tidak ada komentar: